Laman

Rabu, 27 Februari 2013

Pengantar Epidemiologi

EPIDEMIOLOGI   W
EPI = tentang
DEMOS = penduduk
LOGIA = ilmu

         Epid adalah ilmu tentang DISTRIBUSI (penyebaran) dan DETERMINAN )faktor penentu) masalah kesehatan untu DEVELOPMENT (perencanaan) dari penanganan masalah kesehatan. Sebagai ilmu yang berkembang, epid mengalami perkembangan pengertian dan karena itu pula mengalami modifikasi dalam batasan atau definisinya. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para penulis dan para pakar yang mencurahkan waktunya dalam epid. Beberapa di antara mereka dapat disebutkan di sini.

       Wade Hampton Frost (1927), Guru Besar Epid di School of Hygiene, Universitas Johns Hopkins mendefinisikan epid sebagai suatu pengetahuan tentang fenomena massal (mass phenomen) penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah (natural history) penyakit menular. Di sini tampak bahwa pada waktu itu penkanan perhatian epid hanya ditujukan kepada masalah penyakit infeksi yang mengenai massa (masyarakat).
           
          Greenwood (1934), Professor di School of Hygiene and Tropical Medicine, London, mengemukakan batasan epid yang lebih luas di manan dikatakan bahwa epid mempelajari tentang penyakit dan segala macam tentang kejadian penyakit yang mengenai kelompok (herd) penduduk. Kelebihan pengertian ini adalah dengan adanya penekanan pada kelompok penduduk yang memberikan arahan pada distribusi terkait.

           Kemudian Brian MacMahon (1970), pakar epid di Amerika Serikat yang bersama Thomas F. Pugh menulis buku Epidemiology; Principle and Methods menyatakan bahwa Epidemiology is the study of the distribution and determinants of disease frekuency in man. Epid adalah studi tentang penyebaran dan penyebab kejadian penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Walaupun definisinya cukup sederhana, di sini tampak bahwa MacMahon menekankan epid sebagai satu pendekatan metodologik dalam menentukan distribusi penyakit dan mencari penyebab mengapa terjadi distribusi sedemikian dari suatu penyakit.

            Gary D.Friedman (1974), selanjutnya dalam bukunya Primer of Epidemiology  menuliskan bahwa  Epidemiology is the study of disease occurance in human populations. Batasan ini lebih sederhana dan tampak senapas dengan apa yang dikemukakan oleh MacMahon. Dan ini pula yang lebih-kurang dikemukakan oleh Andres Ahbolm dan Staffan Norel (1989) dalam bukunya Introduction of Modern Epidemiology. Dikatakan bahwa epid adalah ilmu pengetahuan mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia. Hanya saja perlu ditambahkan bahwa dalam kata pengantarnya dia mengatakan antara lain: 'Suatu lelucon lama mengatakan bahwa seorang ahli epid adalah seorang dokter yang dapat menghitung. Dewasa ini epid telah berubah; tidak lagi sebagai wilayah dari sejumlah kecil dokter yang berdedikasi, tapi telah berkembang menjadi suatu disiplin riset yang nyata.' Ungkapan ini mengingatkan akan latar belakang sejarah ...
 


Senin, 11 Februari 2013

RATINGG SCALE STASE PEMBERIAN IMUNISASI DPT COMBO (DPT HEPATITIS B) PADA BAYI

Jl. Mangkuyudan MJ III /304 Yogyakarta Telp  (0274)374331

 
SIKAP DAN PERILAKU
  1. Mengucapkan salam memperkenalkan diri
  2. Menjelaskan tujuan, prosedur kerja imunisasi DPT combo
  3. Komunikas dengan ibu/pengasuh bayi selalam tindakan
CONTENT/ISI
  1. Mencuci tangn, mengeringkan dengan handuk pribadi, memakai sarung tangan
  2. Mengisi spuit dengan vaksin DPT combo sebanyak 0,6 ml dan mengganti jarum baru*. Mengeluarkan udara dari spuit sehingga vaksin dalam spuit hanya 0,5 ml*.
    Apabila menggunakan spuit soloshoot, isi spuit dengan vaksin sebanyak 0,5 ml sampai terdengar bunyi klilk. Tidak perlu mengganti jarum dan mengerluarkan udara dari spuit.
  3. Mengatur posisi bayi : bayi dibaringkan ditempat/meja atau dipangku ibu/pengasuh di sisi sebelah kiri. Tangan kanan bayi melingkar ke badan ibu. Tangan kiri ibu merangkul bayi, menyangga kepala, bahu dan memegang sisi luar tangan kiri bayi. Tangan kanan memgang kaki bayi dengan kuat.
  4. Menyiapkan bagian yang akan diinjeksikan, yaitu : muskulus kuadrisep/vastus lateralis di bagian antero-lateral paha kiri dengan cara : Menarik garis yang menguhubungkan trochanter mayor dan condyllus lateralis. Tempat penyuntikan adalah batas 1/3 bagian atas dan tengah pada garis tersebut
  5. Membersihkan lokasi penyuntikan dengan kapas desinfeksi
  6. Menekan kulit sekitar tempat penyutikan dengan ibu jari dan telunjuk
  7. Menusukkan jarum pada tempat penyuntikan dengan sudut 45- 60 derajat dan melakukan dengan cepat (IM)
  8. Menarik piston sedikti memastikan jarum masuk pembluh darah* Apabila terdapat darah buang dan ulangi suntikan baru
  9. Mendorong piston dengan ibu jari tangan kanan
  10. Menarik jarum setle

RATING SCALE STASE MANAJEMEN AKTIF KALA III

SIKAP DAN PERILAKU
  1. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilaksanakan
  2. Komunikasi selama melakukan tidakan
 CONTENT/ISI
  1.  Penolong atau teruji memakai APD ( celemek, masker, topi, kacamat, sarung tangan, sepatu/sandal APN )
  2. Mencuci tangan dan mengeringkan dengan handuk
  3. Memastikan tidak ada janin kedua atau kembar
  4. Melakukan injeksi oksitosin 10 IU intra muskular
  5. Menjepit tali pusat
  6. Memotong  dan mengikat tali pusat
  7. Membantu bayi untuk IMD dengn bayi diselimuti dan diberi penutup kepala
  8. Memindahkan klem pada tali pusat terkendali dan dorso kranial saat ada kontraksi uterus
  9. Melahirkan plasenta
  10. Melakukan masase uterus dan mengecek kelengkapan plasenta
  11. Memeriksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
  12. Meletakkan plasenta pada tempatnya
TEKNIK
  1. Melaksanakan tindakakn secara sistematis
  2. Menjaga privasi pasien

RATING SCALE STASE ASUHAN PERSALINAN NORMAL KALA II

SIKAP DAN PERILAKU
  1.  Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan
  2.  Komunikasi selama melakukan tindakan
CONTENT / ISI
  1. Penolong atau teruji memakai APD ( celemek, masker, topi, kacamata, sarung tangan, sepatu atau sandal APN )
  2. Cuci tangan dan keringkan dengan handuk pribadi
  3. Meletakkan handuk di atas perut ibu
  4. Meletakkan kain yang bersih dilipat 1/3 bagian, dibawah bokong ibu
  5. Mendekatkan alat
  6. Memakai sarung tangan DTT
  7. Memimpin ibu mengejan 
  8. Menolong kelahiran kepala : melindungi perineum, menahak kepala untuk mencegah defleksi maksimal, menganjurkan ibu untuk meneran dan bernafas pendek-pendek
  9. Memeriksa lilitan tali pusat
  10. Menunggu kepala putar paksi luar
  11. Meletakkan tangan penolong secara biparietal
  12. Melahirkan bahu depan dan belakang
  13. Melakukan sangga susur
  14. Menilai dengan cepat keadaan bayi
  15. Meletakkan bayi pada handuk diatas perut ibu serta mengeringkannya dan mengganti kain kering kedua
  16. Membereskan alat
  17. Mencuci tangan dan mengeringkan dengan handuk
TEKNIK

  1. Melaksanakan tindakan secara sistematis/berurutan
  2. Menjaga privasi pasien


MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA
TRAUMA FLEKSUS BRACHIALIS
Disusun untuk memenuhi tugas Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Balita









Disusun oleh :
Nama
:
Novitasari
NIM
:
P07124111026
Semester
:
III







KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
2012








KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas semua karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Trauma Fleksus Brachialis”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita.
Atas terselesaikannya penyusunan makalah ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.    Allah SWT yang telah memudahkan dalam proses pembuatan makalah ini
2.    Orang tua yang telah mendukung lancarnya penyusunan makalah ini
3.    Ibu Heni Puji Wahyuningsih, M.Keb., selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
4.    Dyah Noviawati Setya Arum, M.Keb, Sari Hastuti, S.SiT., MPH, Yuliasti Eka P., SST., MPH, Tri Maryani, SST., M.Kes selaku dosen pembimbing Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
5.    Oang tua yang telah memberikan dukungan moral dan material
6.    Teman-teman penulis dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini
Penulis menyadari segala keterbatasan yang dimiliki, oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik kepada semua pihak agar makalah ini menjadi sempurna. Atas saran dan kritiknya penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat, memberikan kelancaran, dan barokah. Amin.
Yogyakarta, September  2012


Penulis








DAFTAR ISI



Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................
i
DAFTAR ISI..........................................................................................................
ii
BAB I  PENDAHULUAN....................................................................................
1
A.    Latar Belakang...........................................................................................
1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................
8
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
11
1.      Pengertian trauma fleksus brachialis..........................................................
11
2.      Etiologi.......................................................................................................
11
3.      Insiden .......................................................................................................
11
4.      Patofisiologis..............................................................................................

5.      Tanda dan gejala........................................................................................

6.      Komplikasi.................................................................................................

7.      Penatalaksanaan.........................................................................................
11
BAB III PENUTUP
12
KESIMPULAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................












BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang membahagiakan orang tua, terutama bayi yang sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui proses yang panjang, dengan tidak mengesampingkan faktor lingkungan keluarga. Terpenuhinya kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan memberi lingkungan yang terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak menjadi optimal. Tetapi tidak semua bayi lahir dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal, pascanatal, keadaan ini akan memberi pengaruh bagi tumbuh kembang selanjutnya. Seperti mengalami salah satunya trauma pada fleksus brachialis dan masih banyak lagi gangguan yang tidak normal pada bayi.
Asuhan neonatus dengan jejas (trauma) persalinan sangat berpengaruh terhadap trauma pada kelahiran. Trauma lahir merupakan perlakuan pada bayi baru lahir yang terjadi dalam proses persalinan atau kelahiran (IKA, Jilid I). Pengertian yang lain tentang trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau  karena proses kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat keterampilan atau perhatian medis yang tidak  pantas atau tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang tidak peduliLuka yang terjadi pada saat melahirkan amniosentesis, transfusi, intrauterin, akibat pengambilan darah vena kulit kepala fetus, dan luka yang terjadi pada waktu melakukan resusitasi aktif tidak termasuk dalam pengertian. Perlakukan kelahiran atau trauma lahir berarti luas, yaitu sebagai trauma mekanis atau sering disebut trauma lahir dan trauma hipoksik yang disebut sebagai asfiksia. Trauma lahir mungkin masih dapat dihindari atau dicegah, tetapi ada kalanya keadaan ini sukar untuk dicegah lagi sekalipun telah ditangani oleh seorang ahli yang terlatih.
Insidensi trauma pada kelahiran diperkirakan sebesar 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan bayi. Cara kelahiran bayi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian trauma lahir antara lain adalah makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda, disproporsi sefala pelvik, kelahiran dengan tindakan persalinan lama, persalinan presipitatus, bayi kurang bulan, distosia bahu, dan akhirnya faktor manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat trauma lahir sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang dilakukan penolong persalinan waktu melahirkan bayi.
Beberapa trauma pada awalnya dapat bersifat laten, tetapi akan menimbulkan penyakit atau akibat sisa yang berat. Trauma lahir merupakan salah satu faktor penyebab utama kematian perinatal. Di Indonesia angka kematian perinatal 44 per 1000 kelahiran hidup dan 9,7% diantaranya sebagai akibat dari trauma lahir. Pada saat persalinan, perlukaan atau trauma persalinan kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh beberapa sebab. Penangan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi peristiwa trauma pada fleksus brachialis dan mengurangi juga jumlah kematian. Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering disebut sebagai cedera atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis. Kebanyakan cedera lahir ini akan menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan adekuat.
Dengan demikian cara lahir tertentu umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu. Secara klinis trauma lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau bersifat laten yang dapat meninggalkan gejala sisa. Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara hipoksik selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per intraventrikuler dalam otak.

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai  berikut :
1.    Apakah yang dimaksud dengan trauma fleksus brachialis?
2.    Jelaskan etiologi dari trauma fleksus brachialis!
3.    Jelaskan insiden trauma fleksus brachialis!
4.    Bagaimana patofisiologis dari trauma fleksus brachialis?
5.    Sebutkan tanda dan gejala dari adanya trauma fleksus brachialis!
6.    Sebutkan komplikasi yang terjadi akibat trauma fleksus brachialis!
7.    Apa saja penanganan yang dilakukan dalam menangani trauma yang terjadi pada fleksus brachialis?
8.    Peran bidan (asuhan dan konseling untuk keluarga)




BAB II
PEMBAHASAN

1.            Pengertian fleksus brachialis dan trauma fleksus brachialis
Fleksus brakialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.
Serabut saraf akan didistribusikan ke beberapa bagian lengan. Jaringan saraf dibentuk oleh cervical yang bersambungan dengan dada dan tulang belakang urat dan pengadaan di lengan dan bagian bahu.
Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran presentasi verteks yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
Gejala klinis trauma lahir pleksus brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot ekstremitas atas. Gangguan otot tersebut tergantung dari tinggi rendahnya serabut syaraf pleksus braklialis yang rusak dan tergantung pula dari berat ringannya kerusakan serabut syaraf tersebut. Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat temporer atau permanen. Hal ini tergantung kerusakan yang terjadi pada serabut syaraf di pangkal pleksus brakialis yang akut berupa edema biasa, perdarahan, perobekan atau tercabutnya serabut saraf.
Sesuai dengan tinggi rendahnya pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi paresis/paralisis (1) paresis/paralisis Duchene-Erb (C.5-C.6) yang tersering ditemukan (2) paresis/paralisi Klumpke (C.7.8-Th.1) yang jarang ditemukan, dan (3) kelumpuhan otot lengan bagian dalam yang lebih sering ditemukan dibanding dengan trauma Klumpke.
Anatomi dari anyaman ini, dibagi menjadi :  Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan cacat/trauma yang berbeda-beda.
1.    Roots : berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1
2.    Trunks : dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks
3.    Divisions : dari  3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division
4.    Cords :  6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords
5.    Branches : cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus, n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris
Trauma pada pleksus brakialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi pada seluruh lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Secara garis besar macam-macam plesksus brachialis yaitu :

a.    Paralisis Erb-Duchene
Kerusakan cabang-cabang C5 – C6 dari pleksus brakialis menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan keluar serta hilangnya refleks biseps dan morro. Gejala pada kerusakan fleksus ini, antara lain hilangnya reflek radial dan biseps, refleks pegang positif. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas.
 Pada trauma lahir Erb, perlu diperhatikan kemungkinan terbukannya pula serabut saraf frenikus yang menginervasi otot diafragma. Secara klinis di samping gejala kelumpuhan Erb akan terlihat pula adanya sindrom gangguan nafas. Terjadi waiters-tip position yaitu rotasi medial pada sendi bahu menyebabkan telapak tangan mengarah ke posterior.
Lesi pada kelumpuhan Erb terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks superior pleksus brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan kepala ke lateral, sehingga dengan tajam memfleksikan pleksus tersebut ke arah salah satu bahu. Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk melahirkan bahu pada presentasi verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi pada persalinan yang terlihat mudah. Karena itu, dalam melakukan ekstraksi kedua bahu bayi, harus berhati-hati agar tidak melakukan flaksi lateral leher yang berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus dengan persentasi kepala, janin yang menderita paralisis ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar, yaitu denga berat 4000 gram atau lebih.
Penanganan pada kerusakan fleksus ini, antara lain meletakkan lengan atas dalam posisi abduksi 900  dalam putaran keluar, siku dalam fleksi 900 dengan supinasi lengan bawah dan ekstensi pergelangan tangan, serta telapak tangan menghadap depan. Kerusakan ini akan sembuh dalam waktu 3-6 bulan. Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan komplikasi lain seperti kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan imobilisasi pada posisi tertentu selama 1 – 2 minggu yang kemudian diikuti program latihan. Pada trauma ini imobilisasi dilakukan dengan cara fiksasi lengan yang sakit dalam posisi yang berlawanan dengan posisi karakteristik kelumpuhan Erb.
b.    Paralisis Klumpke
Kerusakan cabang-cabang C7 – Th1 pleksus brakialis menyebabkan kelemahan lengan otot-otot fleksus pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal. Secara klinis terlihat refleks pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah, sedangkan refleksi biseps dan radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut terkena, maka akan terlihat sindrom Horner yang ditandai antara lain oleh adanya gejala prosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya keringat di daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut. Penanganan pada kerusakan fleksus brachialis adalah melakukan fisioterapi. Kerusakan akan sembuh dalam waktu 3-6 minggu. Ibu dari bayi harus diingatkan agar berhati-hati ketika mengangkat bayi sehingga trauma tidak bertambah parah. Dalam minggu pertama, membalut lengan untuk mengurangi rasa nyeri. Bila ibu dapat merawat bayinya dan tidak ada masalah lain, bayi bisa dipulangkan dan menganjurkan ibu untuk kunjungan ulang 1minggu lagi untuk melihat kondisi bayi dan latihan pasif. Melakukan tindak lanjut setiap bulan dan menjelaskan bahwa sebagian besar kasus sembuh 6-9 bulan.

c.    Paralisis otot lengan bagian dalam
Kerusakan terjadi pada serabut pleksus brakialis lebih luas dan lebih dalam, yang berakibat fungsi ekstremitas atas akan hilang sama sekali. Ekstremitas atas akan terkulai lemah, sedangkan semua refleks otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya defisit sensoris pada lengan. Pada kasus trauma pleksus brakialis, pemeriksaan radiologik dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur klavikula atau fraktur lengan atas, di samping untuk mencari komplikasi lain seperti kelumpuhan otot diafragma.
Prognosis trauma pleksus brakialis tergantung pada berat ringannya trauma tersebut. Pada trauma ringan berupa edema atau perdarahan kecil dan tidak terdapat kerusakan serabut saraf, maka gangguan fungsi lengan hanya bersifat sementara. Fungsi otot akan kembali normal dalam beberapa hari setelah edema atau perdarahan lokal hilang. Pada trauma lahir yang lebih berat, yang menyebabkan rusaknya atau tercabutnya serabut saraf dan rusaknya selaput saraf, secara klinis akan dapat menimbulkan paralisis yang menetap. Pada kasus demikian perlu dilakukan pemeriksaan neurologik. Usaha pengobatan fisioterapi atau tindakan operatif terhadap kerusakan berat serabut saraf ini, agaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Paralisis ini bersifat sementara. Ada empat jenis cedera pleksus brakialis:
a.      Avulsion, jenis yang paling parah, di mana saraf rusak di tulang belakang;
b.      Pecah, di mana saraf robek tetapi tidak pada lampiran spinal;
c.      Neuroma, di mana saraf telah berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi jaringan parut telah berkembang di sekitar cedera, memberi tekanan pada saraf dan mencegah cedera saraf dari melakukan sinyal ke otot-otot.
d.      Neurapraxia atau peregangan, di mana saraf telah rusak tetapi tidak robek. Neurapraxia adalah jenis yang paling umum dari cedera pleksus brakialis.
2.            Etiologi
Etiologi trauma fleksus brakhialis pada bayi baru lahir. Trauma fleksus brakhialis pada bayi dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain:
1) Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi ganda, letak sunsang, distosia bahu, malpresentasi, bayi kurang bulan
2) Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit), umur ibu yang sudah tua, adanya penyulit saat persalinan
3) faktor penolong persalinan : tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat menolong kelahiran bahu pada presentasi kepala, tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi bokong.

3.            Insiden trauma fleksus brachialis
Insiden paralisis fleksus brachialis ialah 0,5 – 2,0 per 1.000 kelahiran hidup. Kebanyakan kasus merupakan paralisis Erb. Paralisis pada seluruh fleksus brachialis terjadi pada 10 % kasus. Lesi traumatik yang berhubungan dengan paralisis fleksus brachialis antara lain fraktur klavikula (10 %), fraktur humerus (10 %), subluksasi cervikal spine (5 %), trauma cervikal cord (5-10 %), dan paralisis nervus fasialis (10-20 %).  Paralisis Erb (C5-C6) paling sering terjadi dan berhubungan dengan terbatasnya gerakan bahu. Anggota gerak yang terkena akan berada dalam posisi adduksi, pronasi dan rotasi internal. Refleks moro, biseps dan radialis pada sisi yang terkena akan menghilang. Refleks menggenggam biasanya masih ada. Pada 5 % disertai paresis nervus frenikus ipsilateral.
Paralisis Klumpke jarang terjadi dan mengakibatkan kelemahan pada otot-otot instrinsik tangan sehingga bayi kehilangan refleks menggenggam. Bila serabut simpatis servikalis pada spina torakal pertama terlibat, maka akan dijumpai sindrom horner. Tidak ada pedoman dalam penentuan prognosis. Narakas mengembangkan sistem klasifikasi (tipe I - V) berdasarkan beratnya dan luasnya lesi dalam menentukan prognosis pada 2 bulan pertama setelah lahir.  Berdasarkan studi kolaboratif perinatal yang melibatkan 59 bayi, 88 % kasus sembuh pada 4 bulan pertama, 92 % sembuh dalam 12 bulan, dan 93 % sembuh dalam 48 bulan. Penelitian lain pada 28 bayi dengan paralisis pleksus parsial dan 38 bayi dengan paralisis pleksus total, 92 % bayi sembuh spontan.

4.            Patofisiologis
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. 
            Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu, penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brakialis. Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis
Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya. 

5.    Tanda dan gejala
Tanda dan gejala trauma fleksus brachialis antara lain :
a.    gangguan motorik pada lengan atas
b.    paralisis atau kelumpuhan pada lengan atas dan lengan bawah
c.    lengan atas dalam keadaan ekstensi dan abduksi
d.    jika anak diangkat maka lengan akan lemas dan tergantung
e.    reflex moro negative
f.     tangan tidak bisa menggenggam
g.    reflex meraih dengan tangan tidak ada

6.            Komplikasi trauma fleksus brakhialis
a.    Kontraksi otot yang abnormal (kontraktur)atau pengencangan otot-otot, yang mungkin menjadi permanen pada bahu, siku atau pergelangan tangan
b.    Permanen, parsial, atau total hilangnya fungsi saraf yang terkena, menyebabkan kelumpuhan lengan atau kelemahan lengan

7.            Penanganan terhadap trauma fleksus brakhialis
Penanganan atau penatalaksanaan kebidanan meliputi rujukan untuk membebat yang terkena dekat dengan tubuh dan konsultasi dengan tim pediatric. Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan komplikasi lain seperti kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan cara :
1) Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan pada pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu untuk memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau latihan.
2) Immobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi lengan atas abduksi 90 derajat, siku fleksi 90 derajat  disertai supine lengan bawah dan pergelangan tangan dalam keadaan ekstensi
3) Beri penguat atau bidai selama 1 – 2 minggu pertama kehidupannya dengan cara meletakkan tangan bayi yang lumpuh disebelah kepalanya.
4) Rujuk ke rumah sakit jika tidak bisa ditangani.
Penatalaksanaan dengan bentuk kuratif atau pengobatan. Pengobatan tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis dan mungkin termasuk terapi okupasi dan fisik dan dalam beberapa kasus, pembedahan. Beberapa cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat pulih atau sembuh dengan 3 sampai 4 bulan.
Prognosis juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera pleksus brakialis menentukan prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk cedera neuroma dan neurapraxia potensi untuk pemulihan bervariasi. Kebanyakan pasien dengan cedera neurapraxia sembuh secara spontan dengan kembali 90-100% fungsi.
Penanganan lesi pleksus brachialis efektif bila cepat terdeteksi atau dimulai pada usia antara 3 sampai 6 bulan. Ada dua terapi utama untuk lesi pleksus brachialis yaitu :
1.         latihan fisik melalui fisioterapi (occupational therapy)
2.         Penanganan bedah
Penanganan awal penderita lesi plekus brachialis pada bayi lebih difokuskan pada mempertahankan pergerakan seluruh sendi disamping terapi fisik sebagai antisipasi bila tidak terjadi perbaikan spontan dari fungsi saraf. Perbaikan spontan terjadi pada umumnya pada sebagian besar kasus dengan terapi fisik sebagai satu-satunya penanganan. Ada atau tidaknya fungsi motorik pada 2 sampai 6 bulan pertama merupakan acuan dibutuhkannya penanganan bedah. Graft bedah mikro untuk komponen utama pleksus brachialis dapat dilakukan pada kasus-kasus avulsi akar saraf atau ruptur yang tidak mengalami perbaikan.
 Penanganan sekunder dapat dilakukan pada pasien bayi sampai orang dewasa. Prosedur ini lebih umum dilakukan daripada bedah mikro dan dapat juga dilakukan sebagai kelanjutan bedah mikro. Penanganan bedah ini meliputi soft-tissue release, osteotomi, dan transfer tendo (Dr. Kumar Kadiyala). 9
Semua graft saraf yang dibuat pada operasi diimobilisasi selama 2 sampai 6 minggu. Rehabilitasi sempurna diharapkan mulai setelah 6 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan fisoterapi setelah 6 minggu dan follow up setiap 3 bulan.

8.    Peran bidan (asuhan dan konseling keluarga)
a.    Menjelaskan kepada ibunya dan keluarganya tentang keadaan bayinya saat ini agar mengurangi kecemasan ibu.
b.    Menjelaskan kepada ibu tentang penyebab, penanganan dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari bayi dengan fraktur brachialis
c.    Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk penanganan awal atau pengobatan trauma fleksus brachialis
d.    Melakukan penanganan awal untuk mencegah terjadinya komplikasi
e.    Mengajarkan ibu tentang perawatan bayi dengan trauma fleksus brachialis
f.     Menganjuran orang tua untuk sebisa mungkin menghindari menyentuh ekstremitas yang terkena selama minggu pertama karena adanya rasa nyeri




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Plexus brachialis adalah anyaman (Latin: plexus) serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1, kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis klumpke.


DAFTAR PUSTAKA

Prawiroraharjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Jakarta
Muslihatun, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Fitramaya Yogyakarta  
Marku, A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
http://alrehabmed.blogspot.com/2009/05/trauma-pada-pleksus-brakialis.html diakses tanggal 22 September 2012, jam 13:40 WIB
http://rahmayushem.blogspot.com/2010/03/manajemen-fleksus-brakhilais.html diakses pada tanggl 27 September 2012 pukul 20:39 WIB
http://alnissya-icha.blogspot.com/2011/04/trauma-fleksus-brakialis-pada-bayi-baru.html diakses pada tanggal 27 September 2012 pada pukul 20.50 WIB
http://fisioq.blogspot.com/2010/12/trauma-pada-pleksus-brakialis.html diakses pada tanggal 27 September 2012 pukul 22.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Plexus_brachialis diakses pada tanggal 30 September 2012 pukul 21:07 WIB
medicine/2006journals/OrthopedicSurgery/brachial_plexus.pdf diakses pada tgl. 01 Oktober 2012 pada Pkul 17:39
http://www.gillettechildrens.org/fileupload/Vol18No3.pdf diakses pada tgl. 01 Oktober 2012 pada pukul 17:39 WIB
http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS42008-317.pdf diakses pada tgl. 01 Oktober 2012 pada pukul 17:40 WIB
http://www.scribd.com/doc/76650296/Jejas-Persalinan-pada-BBL diakses pada tanggal 02 Oktober 2012 pukul 07:42 WIB
http://tiyaarisma.blogspot.com/2012/06/askeb-teori-trauma-fleksus-brachialis.html diakses pada tanggal 02 Oktober 2012 pukul 16:58 WIB
http://ilmubedah.info/lesi-pleksus-brachialis-penyakit-20120812.html diakses pada 17 Oktober 2012 pukul 07.23 WIB